“Kehidupan” Orang Papua

| |
Melayani Untuk Papua


(LD). Pemerintah dalam rangka membangun Papua harus mengambil dan berlandaskan semangat hidup melayani dari dan untuk Papua, bukan untuk Jakarta. Karena semangat pelayanan telah boleh menjadi jiwa bagi setiap orang yang tinggal di Papua. Orang asli Papua punya jiwa pelayanan. Ini asal dan tujuan hidup dari dan untuk Papua. Dalam sejarahnya, orang asli Papua telah merealisasikan diri sebagai pelayan sejati. Dalam semangat pelayanan inilah, setiap kita telah mendapat panggilan luhur untuk pergi dan diutus oleh Allah untuk melayani setiap warga Papua. Pelayanan dari setiap kita itu harus mau memberikan kepada semua orang tanpa pamri. Tapi pelayanan yang sejati adalah pelayanan yang lebih mengutakan atau mengalamatkan kepada warga asli Papua yang semakin hari semakin minoritas dan lemah itu.
Pelayanan semodel inilah yang oleh rakyat bangsa Papua “memahami”-nya sebagai Papua filsasaf pelayanan Papua. Menurut saya, ada empat filosofi pelayanan yang dimengerti, direfleksikan, dihayati dan dilaksanakan oleh rakyat bangsa Papua yakni ‘melihat’, ‘mendengar’, ‘berpikir’ dan ‘bekerja’ secara fundamental dan komprehensif dengan segenap kekuasaan komunitas hidup Papua. Keempat filosofi ini memiliki hubungan yang paling sangat berkaitan erat, asas dan dasar dan menjadi nafas pelayanan secara paripurna dalam seluruh dinamika kehidupan rayat Papua demi membangun dan mempertahankan KEHIDUPAN bersama secara sejati. Keempat nilai filosofi ini adalah pencerahan dan inspirasi kehidupan bagi mereka dalam menyatakan hidup yang sesungguh-sungguhnya sebagai manusia Papua. Mereka pun diarahkan oleh nilai-nilai dasar tersebut. Karena itu, martabat Papua boleh dikatakan hidup hanya jika keempat filosofi dasar ini, dipahami, direfleksikan, direnungkan dan dihayati serta dilaksanakan secara berkesinambungan dengan segenap jiwa, raga dan roh oleh setiap kita yang hidup dari dan untuk Papua.
Seketika pemerintah hendak melayani rakyat Papua melalui berbagai kebijakan, maka eksistensi Papua harus ditemukan terlebih dahulu dengan menggunakan keempat filosofi dasar di atas ini. Perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan eksistensi KEHIDUPAN Papua ialah komunitas sesama manusia baik orang hidup maupun orang mati, komunitas para leluhur, komunitas air (laut, danau, sungai, kali) komunitas alam sekitarnya (komunitas batu, rawa, gunung, landai, dan komunitas bukit) dan komunitas hewan dan seisinya. Semua ini milik bersama dari dan untuk Papua demi menegakkan penghormatan dan kebebasan martabat Papua secara sejati. Mereka telah “berada” dalam kandungan filosofinya sendiri secara praksis.
Justru persoalan muncul di Papua yakni perampasan, pembunuhan dan penghancuran hak-hak dasar yang merupakan kepemilikan bersama dari dan untuk Papua. Hak ulayat dan hak hidup yang merupakan milik komunitas suku bangsa Papua dikuasai, dicuri dan dihancurkan secara sewenang-wenang oleh pemerintah dengan menghalalkan segala cara yang bersifat kekejam dan tidak bermoral. Apalagi, Papua ini semakin diwarnai dengan berbagai macam pemekaran wilayah, yang berpotensi untuk tejadinya pelanggaran HAM yamg kompleks, di mana orang Papua dengan semua anggota komunitasnya selalu mau dibiarkan hidup dalam situasi pelanggaran HAM yang tanpa berakhir akan ujung penyelesaiannya secara fundamental. Seperti tragedy kemanusiaan yang mengorbankan lima warga sipil Lani Jaya, dan di Kab.Dogiyai 4 warga sipil telah menjadi korban pada Agustus 2014 ini. Secara keseluruhan di Papua, ada sebanyak 25 warga sipil telah ditewaskan oleh Militer Indonesia dalam berbagai aksi kejahatan kemanusiaan terhadap warga Papua sejak Juni-Agustus 2014.
Sementara itu, Mahasiswa Papua di berbagai tempat di luar Papua juga mengalami ancaman yang paling kejam dan teramat memilukan. Di antaranya seperti sejumlah (477) Mahasiswa Papua yang sedang mengalami duka kemanusiaan secara darurat sampai berujung pada pembunuhan mahasiswa Papua. Atas situasi pelanggaran HAM ini, Mahasiswa Papua masih saja semakin resah, terutama dan tidak bertahan hidup sebagai manusia bersama sesama manusia di sana. Di sinilah rakyat tidak hanya mengalami kehilangan hak ulayat dan hak hidup saja, tetapi juga kehilangan masa depan Papua. Hingga kini, masalah hak-hak dasar menjadi masalah actual di seantoro Papua.
Dengan merenungkan, merefleksikan dan memahami serta menafsirkan atas semua realitas masalah manusia dan kemanusiaan Papua itu, saya mau menyimpulkan secara komprehensif bahwa sebenarnya komunitas Papua telah semakin tercabut dan terhapus dari kepemilikan HIDUP pribadi, sosial dan universal. Orang Papua mengalami absensi dalam realitas KEHIDUPAN di atas negerinya yang penuh dengan air, susu dan madu. Kehidupan telah semakin terasa kembali pada dirinya sendiri tanpa hormat. Kehidupan mengalami kehampaan dari dan untuk Papua. Sementara pemerintah dan para pengusaha telah semakin hidup berdamai dan mengamankan diri dalam system kejahatan, kebobrokan dan manipulasi serta kolinialisme NKRI, yang dilandasi atas dasar jeritan dan tangisan rakyat Papua yang berlapis-lapis.

Mungkinkah KEHIDUPAN bagi Papua ini akan menjadi ilusi belaka, ataukah sudah saatnya, pemerintah jangan lagi membiarkan rakyat Papua menderita secara berlarut-larut dalam bingkai NKRI?. Jika bukan pemerintah, siapa lagi yang mau melayani rakyat demi mewujudkan Papua sebagai Tanah ‘KEHIDUPAN’ dari dan untuk komunitas Papua?. Dan jika bukan sekarang, kapan lagikah pemerintah mau menolong rakyatnya sendiri? Karya methu & petu Cs/LD